BAB II
KAJIAN
TEORITIK, KERANGKA BERFIKIR DAN HIPOTESIS
A.
Perilaku Anak
Usia Remaja
1.
Pengertian
Remaja
Konsep tentang “remaja”, bukanlah berasal dari bidang
hukum melainkan berasal dari bidang-bidang ilmu-ilmu sosial lainnya seperti
antropologi, sosiologi, psikologi, dan paedagogi. Kecuali itu konsep “remaja”
juga merupakan konsep yang relatif baru, yang muncul kira-kira setelah era
industrialisasi merata di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan
negara-negara maju lainnya. masalah remaja baru menjadi pusat perhatian
ilmu-ilmu sosial dalam 100 tahun terakhir ini.
Sering kali dalam pembahasan soal remaja digunakan
istilah puberitas dan adolesen, istilah puberitas digunakan untuk
menyatakan perubahan biologis yang meliputi morflogi dan fisiologi yang terjadi
dengan pesat dari masa anak ke masa dewasa, terutama kapasitas reproduksi yaitu
perubahan alat kelamin dari tahap anak ke dewasa.
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata
latin (adolescare) (kata bendanya, adolescentia yang berarti
“tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa.” Bangsa primtif – demikian pula
orang-orang purbakala – memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda
dengan periode-periode lain dalam rentang kehidupan; anak dianggap sudah dewasa
apabila sudah mampu mengadakan reproduksi.
Sedangkan menurut Piaget yang dimaksud dengan istilah adolesen,
dulu merupakan sinonim dari puberitas, sekarang lebih ditekankan untuk
menyatakan perubahan psikososial yang menyertai puberitas. Dan mempunyai arti
yang sangat luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.
Pandangan ini diungkapkan oleh Piaget (121) dengan mengatakan; secara psikologis
remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia
dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua
melainkan berada dalam tingkatan yang sama sekurang-kurangnya bak... integrasi
dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih
berhubungan dengan masa puber termasuk juga perubahan intelekual yang mencolok.
Menurut Lewin
dalam Siti Rahayu Haditono (2006:260)
merumuskan bahwa:
Remaja ada
dalam tempat marginal. Berhubung ada macam-macam persyaratan untuk dapat
dilaksanakan dewasa, maka lebih mudah dimasukkan kategori anak daripada dewasa.
Baru ahir abad ke 18 maka masa remaja dipandang sebagai periode tertentu lepas
dari periode anak-anak. Meskipun begitu kedudukan dan status remaja berbeda
daripada anak-anak. Masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa
transisi atau peralihan (calon, 1953) karena remaja belum memperoleh status
orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status anak-anak. Dipandang dari segi
sosial, remaja mempunyai suatu posisi marginal. Penelitian Roscoe dan Peterson
(1984) membuktikan hal ini.
Dalam pengertian lain
Abi Syamsudin (2007:131) menjalasakan bahwa “masa remaja adalah suatu periode
yang terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai datangnya awal masa
dewasa”.
Sedangkan menurut Sarlito W Sarwono (2012:2): “Remaja
adalah periode transisi dalam periode anak anak ke masa dewasa”. atau masa usia
belasan tahun, atau jika seorang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti
susah diatur, mudah terangsang perasaan. Hal ini sejalan dengan pendapat
Irwanto (2002:46) : “Remaja adalah masa transisi dalam periode anak anak ke
masa dewasa”. Pendapat tersebut hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Diane
E. Papalia (2008:534) “masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara
masa anak-anak dan masa dewasa yang mengandung perkembangan fisik, kognitif,
psikososial”.
Berbeda dengan pendapat Sigmoud freud yang menafsirkan
masa remaja sebagai suatu masa mencari hidup seksual yang mempunyai bentuk yang
definitif karena perpaduan (unifikasi) hidup seksual yang banyak
bentuknya (poly morph) dan infantile (sifat kekanak-kanakan)
Berdasarkan umur kronologis dan berbagai kepentingan,
terdapat berbagai definisi tentang remaja menurut Soetjiningsih (2010:1) yaitu
:
a.
Pada buku-buku pediatri, pada
umumnya mendefinisikan remaja adalah: bila seorang anak telah mencapai umur
10-18 tahun untuk anak perempuan dan 12-20 tahun untuk anak laki-laki.
b.
Menurut undang-undang No. 4 tahun
1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja adalah individu yang belum mencapai 21
tahun dan belum menikah.
c.
Menurut undang-undang perburuhan
anak dianggap remaja apabila telah mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah
dan mempunyai tempat tinggal.
d.
Menurut UU Perkawinan No. 1 tahun
1974, anak dianggap sudah remaja apabila cukup matang untuk menikah, yaitu umur
16 tahun untuk anak perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki
e.
Menurut DikNas anak dianggap remaja
bila anak sudah berumur 18 tahun, yang sesuai dengan saat lulus sekolah
menengah.
f.
Menurut WHO, remaja bila sudah mencapai umur 10-18 tahun.
Dalam tumbuh kembangnya
menuju dewasa, berdasarkan kematangan psikososial dan seksual, semua remaja
akan melewati tahap berikut:
a.
Masa remaja awal/dini (Early
adolescence): umur 11-13 tahun
b.
Masa remaja pertengahan
(Middle adolescence): umur 14-16 tahun
c.
Masa remaja lanjut (Late
adolescence): umur 17-20 tahun
Masa remaja merupakan masa yang banyak menarik perhatian
karena sifat-sifat khasnya dan peranannya yang menentukan dalam kehidupan
individu dalam masyarakat orang dewasa.
Karena pada masa ini anak-anak mengalami banyak perubahan pada psikis,
fisik dan sosialnya. Terjadi perubahan kejiwaan menimbulkan kebingungan di
kalangan remaja sehingga pada masa ini disebut oleh orang barat sebagai periode
strumund drang. Sebabnya karena mereka mengalami penuh gejolak emosi dan
tekanan jiwa sehingga mudah menyimpang dari aturan dan norma-norma sosial yang
berlaku di kalangan sosial.
2.
Ciri-Ciri
Masa Remaja
Masa remaja mempunya
ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya. Ciri-ciri remaja
menurut Hurlock (2003) antara lain :
a.
Masa remaja merupakan
masa yang paling penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa remaja
akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan
mempengaruhi perkembangan selanjutnya.
b.
Masa remaja merupakan
masa peralihan. Peralihan tidak berarti terputus-putus dengan atau berubah dari
apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan sebuah peralihan dari satu tahap
perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya apa yang telah terjadi sebelumnya
akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang.
c.
Masa remaja sebagai
periode perubahan, yaitu perubahan dari emosi perubahan tubuh, minat dan peran
(menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta
keinginan akan kebebasan.
d.
Masa remaja merupakan
masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan
siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.
e.
Masa remaja sebagai masa
yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian karena sulit diatur, cenderung
berperilaku yang kurang baik. hal ini membuat orang tua menjadi takut.
f.
Masa remaja adalah masa
yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan dari kaca mata
berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana
diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita.
g.
Masa remaja sebagai masa
dewasa. Remaja mengalami kebingungan dan kesulitan didalam usaha meninggalkan
kebiasaan pada usia sebelumnya dan didalam memberikan kesan bahwa mereka hampir
atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok, meminum-minuman keras, menggunakan
obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap bahwa perilaku
ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.
Dapat disimpulkan adanya
perubahan fisik maupun psikis pada diri remaja, kecenderungan remaja akan
mengalami masalah dalam penyesuaian diri dengan lingkungan. Hal ini diharapkan
agar remaja dapat menjalani tugas perkembangan dengan baik dan penuh tanggung
jawab.
Semua aspek perkembangan dalam masa remaja secara umum
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut: masa remaja awal 12-15
tahun, masa remaja pertengahan 15-18 tahun, dan
masa remaja akhir 18-21 tahun. kanopka, 1973, pikunas 1976; ingersoll
1989 dalam Hendriati Agustiani (2009:29) sebagai berikut :
a.
Masa remaja awal (12-15
tahun)
Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai
anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak
tergantung pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah peneriman terhadap
bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman
sebaya.
b.
Masa remaja pertengahan
(15-18 tahun)
Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berfikir
yang baru. Teman sebaya masih memiiki peran yang penting, namun individu sudah
lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self-directed). Pada masa ini remaja
mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan inpulsivitas
dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan degan tujuan vokasional
yang ingin dicapai. Selain itu penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi
individu.
c.
Masa remaja akhir (19-21
tahun)
Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki
peran-peran orang dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan
vokasional dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan yang
kuat untuk matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa,
juga menjadi ciri dari tahap ini.
Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
usia remaja adalah periode transisi dari masa anak-anak menuju datangnya masa
dewasa, tahap umurnya sudah mencapai 12
– 21 tahun yang ditandai dengan perubahan fisik, psikis dan sosial. tahap
perkembangannya terjadi pada tiga fase (remaja awal, pertengahan dan remaja
ahir).
3.
Tugas
Perkembangan Remaja
Tugas-tugas perkembangan
masa remaja pada umumnya meliputi pencapaian dan persiapan segala hal yang
berhubungan dengan kehidupan masa dewasa, (Muhibbinsyah. 2009:51) yakni:
a.
Mencapai pola hubungan
baru yang lebih matang dengan teman sebaya yang berbeda jenis kelamin sesuai
dengan keyakinan dan etika moral yang berlaku dimasyarakat.
b.
Mencapai peranan sosial
sebagai seorang pria (jika ia seorang pria) dan peranan sosial seorang wanita
(jika ia seorang wanita) selaras dengan tuntutan sosial dan kultural
masyarakatnya
c.
Menerima kesatuan
organ-organ tubuh sebagai pria (jika ia seorang pria) dan kesatuan organ-organ
sebagai wanita (jika ia seorang wanita) dan menggunakannya secara efektif
sesuai dengan kodratnya masing-masing
d.
Keinginan menerima dan
mencapai tingkah laku sosial tertentu yang bertanggung jawab ditengah-tengah
masyarakat
e.
Mencapai
kemerdekaan/kebebasan emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya
dan mulai menjadi seorang “person” (menjadi dirinya sendiri)
f.
Mempersiapkan diri untuk
mencapai karir (jabatan dan profesi) tertentu dalam bidang ekonomi
g.
Mempersiapkan diri untuk
untuk memasuki dunia perkawinan (rumah tangga) dan kehidupan keluarga yakni
sebagai suami (ayah) dan istri (ibu); dan
h.
Memperoleh seperangkat
nilai dan sistem etika sebagai pedoman bertingkah laku dan mengembangkan
ideologi untuk keperluan kehidupan kewarganegaraan.
Tugas-tugas perkembangan
remaja juga dijelaskan oleh Mohamad Surya (2013:31) sebagai berikut :
a. Menerima
keadaan fisiknya, dan menerima peran sebagai laki-laki atau perempuan
b. Membangun
hubungan baru dengan teman seusia baik dengan laki-laki maupun dengan perempuan
c. Mendapatkan
kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya
d. Mencapai
jaminan kebebasan ekonomi
e. Memilih dan
mempersiapkan suatu pekerjaan
f. Mengembangkan
keterampilan-keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan sebagai
warga negara yang baik
g. Berkeinginan
dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggung jawabkan secara sosial
h. Mempersiapkan
untuk kehidupan pernikahan dan keluarga
i.
Membangun nilai-nilai yang disadari
dan harmonis dalam lingkungan
4.
Perilaku
Perilaku merupakan aktualisasi sikap seorang dalam wujud
tindakan atau Aktifitas sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Tindakan
atau Aktivitas tersebut didasari atas kebutuhan, motivasi dan tujuan, sedangkan
lingkungan adalah organisasi dimana individu atau kelompok itu berkarya.
Perilaku (behavior) adalah sesuatu yang dikerjakan
atau dikatakan oleh seseorang (Kazdim, 1987; Alberto & Troutman, 2006).
Istilah lain yang identik dengan perilaku adalah aktivitas, respons, kinerja,
dan reaksi. Perilaku yang dapat diamati langsung disebut perilaku overt,
sedangkan yang tidak diamati secara langsung disebut perilaku covert (misalnya,
berfikir atau merasakan). Fokus teori perilaku adalah mengubah perilaku manusia
dengan asumsi bahwa penjelasan perilaku dapat diprediksi. Menurut Simon dalam
Delly Mustafa (2014:26) :
menjelaskan
hampir semua perilaku terutama perilaku individu didalam sebuah organisasi
administrasi adalah bersifat purposif yaitu berorientasi kepada goal (tujuan
). Simon (1997:3) memandang bahwa semua perilaku merupakan seleksi tindakan tertentu dilakukan secara sadar maupun tidak, kecuali secara fisik dapat dilakukan oleh faktor atau orang yang berada dibawah pengaruh dan kekuasaannya.
). Simon (1997:3) memandang bahwa semua perilaku merupakan seleksi tindakan tertentu dilakukan secara sadar maupun tidak, kecuali secara fisik dapat dilakukan oleh faktor atau orang yang berada dibawah pengaruh dan kekuasaannya.
Perilku pada hakikatnya merupakan “fungsi interaksi
antara Seorang individu dan
lingkungannya” (Thoha,2002:184), dimana perilaku seorang, tidak hanya
ditentukan oleh dirinya sendiri, melainkan oleh seberapa jauh interaksi antar
dirinya dengan lingkungann. Ini formula psikologi, dan mempunya kandungan
pengertian bahwa perilaku seseorang, tidak hanya ditentukan oleh dirinya
sendiri, melainkan ditentukan sampai seberapa jauh interaksi antar dirinya dan
lingkungannya .
Menurut Ndraha (2008:71) menyatakan bahwa “Perilaku
adalah operasionalisasi dan aktualisasi sikap seorang atau satu kelompok dalam
atau terhadap suatu (Situasi dan kondisi) lingkungan masyarakat, alam,
teknologi dan organisasi.” Hasil yang diinginkan dari setiap perilaku adalah
performanya, Winardi (2004:199) perilaku berkaitan dengan performa, yaitu
perilaku langsung berkaitan dengan tugas pekerjaan yang perlu dilaksanakan guna
mencapai sasaran pada tugas tersebut. Perilaku merupakan fungsi dari variabel
individu, variabel keorganisasian dan variabel psikologikal.
Menurut Sunaryo (2003:3), “Perilaku baru terjadi apabila
ada sesuatu menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti
rangsangan tertentu akan menimbulkan reaksi tertentu atau perilaku tertentu”.
Sedangkan menurut Irwanto (2002:21):
Perilaku
dapat ditinjau secara sosial, yaitu pengaruh hubungan antara organisme dengan
lingkungan terhadap perilaku, intrapsikis yaitu proses-proses dinamika –
dinamika mental atau psikologis yang mendasari perilaku serta biologis yaitu
proses-proses dan dinamika syaraf fa’ali (neural-fisiologis) yang ada dibalik
suatu perilaku.
Perilaku menghasilkan pekerjaan, merupakan keunikan
masing-masing orang, proses melandasinya sama bagi setiap orang. Dari kontruksi
teori dan riset tentang perilaku dapat disimpulkan bahwa: (1) perilaku timbul
karena sebab; (2) perilaku diarahkan karena tujuan; (3) perilaku dapat diamati
(masih) dapat diukur; (4) perilaku tidak dapat langsung diamati (seperti
berfikir, berpersepsi) juga penting dalam mencapai tujuan; dan (5) perilaku
bermotivasi.
Sikap dan perilaku yang nampak dan muncul dalam suatu
organisasi menggambarkan budaya organisasi. Budaya organisasi juga memberikan
rambu-rambu kepada sikap anggota organisasi tentang bagaimana memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Memahami budaya organisasi dalam suatu organisasi
dapat dilakukan dengan berusaha mengenalinya secara mendalam.
Manusia berperilaku atau beraktifitas karena adanya
kebutuhan untuk mencapai suatu tujuan atau global. Dengan adanya need
atau kebutuhan dalam diri seseorang maka akan muncul motivasi atau
penggerak/pendorong. Sehingga individu/manusia itu beraktifitas, baru tujuan
tercapai dan individu mengalami kepuasan. Teori nativisme dalam bukunya Tri
Rusmi Widayatun (hal:7) berpendapat bahwa:
perilaku
manusia itu sangat dipengaruhi oleh pembawaan/herediter atau kodrat (asli dari
pencipta alam). Manusia atau individu sejak lahir sudah membawa bakat ”dari
sananya” oleh karena itu lingkungan tidak berpengaruh sama sekali, pembawaan
ini sangat menentukan. Pembawaan ini yang mewarnai kehidupan manusia dalam
berperilaku teori ini diformulasikan sebagai p=H (Herediter) perilaku tentukan
oleh bawaan.
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu
sendiri yang mempunyai arti yang sangat luas. Menurut Skinner dalam Notoadmodjo
(2010) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau
reaksi seorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia dari
segi biologis adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang
mempunyai bentangan yang sangat luas seperti ; berjalan, berbicara, menangis,
tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Dilihat dari bentuk
respon terhadap stimulus Skinner membedakan perilaku menjadi dua:
a.
Perilaku tertutup (covert
behavior)
Respon seorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung
atau tertutup. Respon terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,
persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang
menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang
lain.
b.
Perilaku terbuka (overt
behavior)
Respon seorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan
nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,
persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang
menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang
lain.
Dapat disimpulkan, perilaku adalah keseluruhan sikap,
tindakan atau perkataan yang dilakukan seseorang pada saat dirinya berinterksi
dengan lingkungan. misalnya perilaku seorang seperti perilaku ramah, perilaku
sombong, perilaku malas dan sebagainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku menurut Ndraha
dalam Delly (2008:73) ada dua faktor yaitu: (1) kondisi yang datang dari luar
(lingkungan eksternal) dan (2) kepentingan didasari dari dalam oleh yang
bersangkutan.
Lebih lanjut
dijelaskan oleh Skinner (http://dianhusadanuruleka.blogspot.co.id/p/konsep-perilaku
manusia.html) bahwa
faktor-foktor yang mempengaruhi perilaku adalah (1) Genetika, (2) Sikap, yaitu
suatu ukuran tingkat kesukaan seseorang terhadap perilaku tertentu, (3) Norma
sosial, yaitu pengaruh tekanan sosial dan, (4) Kontrol perilaku pribadi, yaitu
kepercayaan seseorang mengenai sulit tidaknya melakukan suatu perilaku.
Robbins
(2003:59) mengungkapkan empat cara membentuk perilaku: (1) penguatan positive;
(2) penguatan negatif; (3) hukuman; (4) pemunahan. kemudian Desseler mengatakan
bahwa “Perilaku manusia terbentuk melalui proses dari adanya kebutuhan (needs),
keinginan (want), motivasi, sikap dan minat.
Sedangkan menurut D.Gunarsa dalam Skripsi Nuraini
(2014:15) faktor yang mempengaruhi perilaku remaja yaitu :
a.
Faktor pribadi
Setiap anak
berkepribadian khusus. Keadaan khusus pada anak bisa menjadi sumber munculnya
berbagai perilaku menyimpang. Keadaan khusus ini adalah keadaan konstitusi,
potensi, bakat atau sifat dasar pada anak yang kemudian melalui proses
perkembangan, kematangan, atau perangsangan dari lingkungan, menjadi aktual,
muncul atau berfungsi.
b.
Faktor keluarga
Keluarga adalah unit
sosial yang paling kecil dalam masyarakat. Meskipun demikian, peranannya lebih
besar sekali terhadap perkembangan sosial, terlebih pada awal-awal perkembangan
yang menjadi landasan bagi perkembangan kepribadian selanjutnya. Anak yang baru
dilahirkan berada dalam keadaan lemah, tidak berdaya, tidak bisa melakukan
apa-apa, tidak bisa mengurus diri sendiri, dan tidak bisa lingkungan sosial
dengan berbagai ciri khusus yang menyertainya memegang peranan besaar munculnya
corak dan gambaran kepribadian anak.
Jadi dapat disimpulkan
perilaku remaja adalah keseluruhan sikap, tindakan positif dan negatif yang
dapat diamati melalui pikiran perasaan dalam proses pertumbuhan dari masa
anak-anak menuju dewasa.
B.
Gaya
Kepemimpinan Orang Tua
1. Gaya Kepemimpinan
Gaya atau style kepemimpinan banyak mempengaruhi
keberhasilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku pengikut-pengikutnya.
Istilah gaya secara dasar sama dengan cara yang dipergunakan pemimpin didalam
mempengaruhi para pengikutnya.
Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan
pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang
ia lihat. Dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi diantara orang yang akan
mempengaruhi perilaku dengan orang yang perilakunya akan dipengaruhi menjadi
amat penting kedudukannya.
Selama bertahun-tahun ketika orang-orang membicarakan
gaya kepemimpinan ini, mereka mengidentifikasikan dua kategori gaya yang
ekstrim yakni: gaya kepemimpinan otokratis, dan gaya demokratis. Kepemimpinan
otokratis dipandang sebagai gaya yang berdasar atas kekuatan posisi dan
penggunaan otoritas. Sementara itu gaya kepemimpinan demokratis dikaitkan
kekuatan personal dan keikutsertaan para pengikut dalam proses pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan. Tannenbaum dan Schmidt dalam artikel mereka
yang dimuat dalam majalah Harvard Business review : How to Choose a
Leadership Patterent, berargumentasi bahwa gaya kepemimpinan otokratis dan
demokratis, keduanya merupakan gaya kepemimpinan, dan oleh karenanya dapat
didudukkan dalam suatu kontinum dari perilaku pemimpin yang sangat otokratis
pada suatu ujung sampai kepada pemimpin yang sangat demokratis pada ujung yang
lain.
Veithzal (2007: 64)
mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan
seorang pemimpin, baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Gaya
kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah,
keterampilan, sifat, dan sikap yang mendasari perilaku seseorang. Gaya kepemimpinan menunjukkan secara langsung
maupun tidak langsung, tentang keyakinan seorang pemimpin tentang kemampuan
bawahannya. Artinya, gaya kepemimpinan
adalah perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan,
sifat, sikap yang sering diterapkan seorang pemimpin ketika ia mencoba
mempengaruhi kinerja bawahannya.
Gaya kepemimpinan itu adalah suatu pola perilaku yang
konsisten yang kita tunjukkan dan sebagai yang diketahui oleh pihak lain ketika
kita berusaha mempengaruhi kegiatan-kegiatan orang lain. Perilaku ini
dikembangkan setiap saat yang dipelajari oleh pihak lain untuk mengenal kita
sebagai pemimpin, gaya kepemimpinan kita atau kepribadian kepemimpinan kita.
Mereka bisa mengharap dan bahkan bisa meramalkan jenis perilaku tertentu dari
kita. Pola umum yang biasanya terlibat antaranya perilaku yang berorientasi.
Menurut Thoha dalam Sudaryono (2004:313)
menyatakan bahwa :
Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku
yang digunaka oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku
orang lain seperti yang ia lihat. Sehingga menyelaraskan persepsi diantara
orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan orang yang perilakunya akan
dipengaruhi menjadi amat penting kedudukannya. Sedangkan menurut Djuju Sudjana
(2010:19) “kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi perilaku seseorang
atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan atau karena alasan lain. Berbeda
dengan pendapat Kusnadi (2005:353) mengemukakan bahwa kepemimpinan tidak
saja berarti pemimpin dan mempengaruhi orang-orang, tetapi juga pemimpin
terhadap perubahan dan sumber aspirasi serta motivasi bawahan.
Gaya kepemimpinan menurut Kartini Kartono (2005: 46)
mendefinisikan “gaya kepemimpinan adalah pola-pola perilaku yang diterapkan
seorang pemimpin dalam bekerja dengan melalui orang lain seperti dipersiapkan
orang lain”. Pola konsisten yang dimaksud disini adalah pola-pola yang timbul
pada diri orang-orang pada waktu mereka mulai memberikan tanggapan dengan cara
yang sama dalam kondisi yang serupa dan pola itu membentuk kebiasaan tindakan
yang setidaknya dapat diperkirakan bagi mereka yang bekerja dengan orang-orang.
Menurut Tjiptono (2006:161) gaya kepemimpinan adalah
suatu cara yang digunakan pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahannya.
Sementara itu, pendapat lain menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola
tingkah laku (kata-kata dan tindakantindakan) dari seorang pemimpin yang
dirasakan oleh orang lain (Hersey, 2004:29)
Tipe kepemimpinan dapat diartikan sebagai bentuk atau
pola atau jenis kepemimpinan, yang didalamnya diimplementasikan satu atau lebih
perilaku atau gaya kepemimpinan sebagai pendukungnya. Sedang gaya kepemimpinan
diartikan sebagai perilaku atau cara yang dipilih dan digunakan pemimpin dalam
mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku para anggota atau bawahannya
(Hadari Nawawi, 2003). Flippo dalam Sudaryono (2014:313) berpendapat gaya
kepemimpinan dapat dirumuskan sebagai suatu pola perilaku yang dirancang untuk
memadukan kepentingan-kepentingan organisasi dan personalia guna mengejar
beberapa sasaran.
Sehubungan dengan itu Agus Dharma (2004) mendefinisikan
bahwa gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang ditunjukkan seseorang
pada saat ia mencoba mempengaruhi orang lain. Definisi yang sama dikemukakan
oleh Paul Hersey dan Kenneth Blanchard (1988) yang mengatakan bahwa, gaya
kepemimpinan adalah pola perilaku pada saat seseorang mencoba mempengaruhi
orang lain. Dan mereka menerimanya. Sehubungan dengan itu Eungene Emerson et
al (1992) mengemukakakn enam tipe kepemimpinan, yaitu: (1) kepemimpinan
otokratis, (2) kepemimpinan diktator, (3) kepemimpinan demokratis, (4)
kepemimpinan karismatis,(5) kepemimpinan paternalistis, (6) kepemimpinan laissez-faire.
Dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola
menyeluruh dari tindakan yang diterapkan oleh pimpinan dalam mempengaruhi
pikiran, sikap dan perilaku saat ia mencoba mempengaruhi bawahannya.
2. Macam-macam Gaya Kepemimpinan
Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang
berbeda-beda. Dasar yang digunakan dalam memilih gaya kepemimpinan merupakan
tugas yang harus dilakukan oleh pimpinan. Adapun jenis-jenis gaya kepemimpinan
menurut Melayu S.P Hasibuan (2005:170)adalah sebagai berikut:
a.
Kepemimpinan Otoriter
Kepemimpinan otoriter adalah jika kekuasaan atau
wewenang, sebagian besar mutlak tetap
berada pada pimpinan. Pengambilan keputusan dan kebijaksanaan hanya
diteteapkan sendiri oleh pimpinan, bawahan tidak diikutsertakan untuk
memberikan saran, ide dan pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan.
b.
Kepemimpinan
Partisipatif
Kepemimpinan partisipatif adalah apabila dalam
kepemimpinan dilakukan dengan cara persuasif. Menciptakan kerja sama yang
serasi, menumbuhkan loyalitas, dan partisipasi bawahan. pimpinan memotivasi
bawahan agar merasa ikut memiliki perusahaan.
c.
Kepemimpinan Delegatif
Kepemmpinan delegatif adalah apabila seorang pemimpin
mendelegasikan wewenang dengan cukup lengkap. Dengan demikian, bawahan dapat
mengambil keputusan dan kebijaksanaan bebas atau leluasa dalam melaksanakan
pekerjaannya. Pemimpin tidak peduli cara bawahan mengambil keputusan dan
mengerjakan pekerjaannya, sepenuhnya diserahkan kepada bawahan.
d.
Kepemimpinan Situasional
Penekanan pendekatan situasional adalah pada perilaku
pemimpin dan anggota pengikut dalam kelompok dan situasi yang variatif. Dalam
kepemimpinan situasional, tidak ada satu cara yang terbaik untuk mempengaruhi
orang lain. Gaya kepemimpinan mana yang harus digunakan terhadap individu atau
kelompok tergantung pada tingkat kesiapan orang yang akan dipengaruhi.
Meurut
Ronald Lippit dan Ralp K. White dalam Soekarso (2010: 100-104) mengemukakan
adanya tiga gaya kepemimpinan :
a.
Kepemimpinan gaya otoriter, otokratis, atau
diktator
Kemampuan
mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan dengan cara segala kegiatan yang akan dilakukan oleh pimpinan
semata-mata. Kepemimpinan gaya otoriter antara lain berciri:
1)
Wewenang mutlak
berpusat pada pimpinan
2)
Keputusan selalu
dibuat oleh pimpinan
3)
Kebijaksanaan selalu
dibuat oleh pimpinan
4)
Komunikasi langsung
satu arah dari pimpinan kepada bawahan
5)
Pengawasan terhadap
sikap, tingkah laku, perbuatan, atau kegiatan para bawahannya dilakukan secara
ketat
6)
Prakarsa harus selalu
datang dari pimpinan
7)
Tiada kesempatan bagi
bawahan untuk memberikan saran, pertimbangan, atau pendapat
8)
Tugas-tugas bagi
bawahan diberikan secara instruktif
9)
Lebih banyak kritik
daripada pujian
10)
Pimpinan menuntut
prestasi sempurna dari bawahan tanpa syarat
11)
Cenderung adanya
paksaan, ancaman, dan hukuman
12)
Kasar dalam bertindak
13)
Kaku dalam bersikap
14)
Tanggung jawab keberhasilan
organisasi hanya dipikul oleh pimpinan
b.
Kepemimpinan gaya demokratis
Kemampuan
mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan ditentukan
bersama antara pimpinan dan bawahan. Kepemimpinan gaya demokratis antara lain
berciri:
1)
Wewenang
pimpinan tidak mutlak
2)
Pimpinan
bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada bawahan
3)
Keputusan
dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan
4)
Kebijaksanaan dibuat
bersama antara pimpinan dan bawahan
5)
Komunikasi
berlangsung timbal balik, baik yang terjadi antara pimpinan dan bawahan maupun
antar sesama bawahan
6)
Pengawasan terhadap
sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan para bawahan dilakukan secara
wajar
7)
Prakarsa dapat datang
dari pimpinan maupun bawahan
8)
Banyak kesempatan
bagi bawahan untuk menyampaikan saran, pertimbangan, atau pendapat
9)
Tugas-tugas kepada
bawahan diberikan dengan lebih bersifat permintaan daripada instruktif
10)
Pujian dan kritik
keseimbangan
11)
Pimpinan mendorong
prestasi sempurna para bawahan dalam batas kemampuan masing-masing
12)
Pimpinan meminta
kesetiaan para bawahan secara wajar
13)
Pimpinan
memperhatikan perasaan dalam bersikap dan bertindak
14)
Terdapat suasana
saling percaya, saling menghormati dan saling menghargai
15)
Tangggung jawab
keberhasilan organisasi dipikul bersama pimpinan dan bawahan
c.
Kepemimpinan gaya kebebasan
Kemampuan
mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan lebih banyak
diserahkan kepada bawahan. “Laissez-faire” secara harafiah berarti “allow
(them) to do” (mengizinkan mereka bekerja), atau “to leave alone”
(biarkan sendiri), “free-rein” berasal dari kata “free” (bebas),
jadi “rein” (kendali), secara harafiah berarti bebas kendali.
Kepemimpinan gaya kebebasan antara lain berciri:
1)
Pimpinan melimpahkan
wewenang sepenuhnya kepada bawahan
2)
Keputusan lebih
banyak dibuat oleh para bawahan
3)
Kebijaksanaan lebih
banyak dibuat oleh para bawahan
4)
Pimpinan hanya
berkomunikasi apabila diperlukan oleh bawahannya
5)
Hampir tiada
pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan, atau kegiatan yang
dilakukan para bawahan
6)
Prakarsa selalu
datang dari bawahan
7)
Hampir tiada
pengarahan dari pimpinan
8)
Peranan pimpinan
sangat sedikit dalam kegiatan kelompok
9)
Kepentingan pribadi
lebih utama daripada kepentingan kelompok
10)
Tanggung jawab keberhasilan
organisasi dipikul oleh orang per orang
Gaya kepemimpinan
menurut Robbins dan Culture dalam Darwis S. Gani, , Djoehana Setyamidjaja dan
Sumadi (2008:8) :
a. Kepemimpinan
otokratis, adalah kepemimpinan dimana pemimpin memusatkan wawanang pada dirinya,
mendiktekan metode kerja, membuat keputusan unilateral dan membatasi
partisipasi anggota (karyawan, bawahan, dan
pengikutnya). Kepemimpinan otokratis sudah jarang dijumpai saat ini
karena sudah kurang sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan hubungan
antara manusia yang lebih cenderung terbuka.
b. Kepemimpinan
demokratis, adalah kepemimpinan yang bercorak melibatkan partisipasi anggota
(karyawan, bawahan, pengikut) dalam mengambil keputusan organisasi,
mendelegasikan wewenang, mendorong partisipasi dan hirau terhadap umpan balik.
Kepemimpinan demokratis saat ini berkembang dengan pesat, baik pada tahap
organisasi maupun lembaga-lembaga kenegaraan.
c. Kepemimpinan
laissez-faire, adalah kepemimpinan yang memberikan kebebasan penuh kepada
kelompok dalam membuat keputusan dan menyelesaikan pekerjaan dan dapat
menggunakan cara apa saja yang dianggap sesuai.
Masing-masing pemimpin dalam
menjalankan kepemimpinanya tentu memiliki cara tersendiri agar tujuan yang
diharapkan dapat tercapai. Setiap pemimpin memiliki tipe kepemimpinan yang
berbeda-beda, sebagaimana penulis simpulkan dibawah ini :
a.
Gaya
kepemimpinan otoriter
Dalam kepemimpinan otoriter
pemimpin terlalu menuntut kepatuhan, ketaatan dan banyak memberikan
kritikan-kritikan walaupun hanya hal sepele dan bahkan suka bertindak kejam
tanpa menghiraukan bawahan. Dan selalu memaksakan kehendaknya dan menganggap
bawahan tidak mampu untuk mengarahkan diri mereka sendiri.
b.
Gaya
kepemimpinan demokratis
Kepemimpinan demokratis ini,
lebih banyak menyelesaikan sesuatu dengan jalan damai, penuh dengan kasih
sayang, selalu memberikan nasehat dan dorongan pada bawahan. pemimpin memberikan
peraturan secara jelas, serta memberikan kesempatan kepada bawahan untuk
berbicara.
c.
Gaya
kepemimpinan laissez-faire
Dalam kepemimpinan laissez-faire ini, pemimpin lebih banyak pasif dan memberikan kebebasan penuh kepada
bawahan untuk melakukan kegiatan sesuai dengan keinginannya. pemimpin suka acuh
dan bawahan sedikit sekali dituntut untuk tanggung jawab terhadap pekerjaannya.
d.
Gaya
kepemimpinan karismatik
Gaya kepemimpinan karismatik
ini susah untuk dijabarkan oleh penulis. Karena tipe kepemimpinan ini punya
daya tarik tersendiri yang bisa memikat semua orang dengan kepribadiannya yang
istimewa. dan bawahannya selalu merasa hormat, segan dan patuh pada pimpinan
karismatik ini, seperti presiden pertama Indonesia Ir.Soekarno.
e.
Gaya
kepemimpinan situasional
Dalam kepemimpinan
situasional, pemimpin biasanya memperlihatkan tindakan dan perilakunya secara langsung pada saat membimbing atau
berkomunikasi dengan bawahannya.
3. Fungsi dan Peran Pemimpin
Pemimpin adalah seorang
yang bersifat dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan tindakan sesuai
yang diinginkan olehnya dan organisasinya. Seorang pemimpin dapat mendorong
pengikutnya (bawahannya) dalam mencapai visi dan misi yang telah ditentukan dan
ia harus dapat memotivasi, berkomunkasi, mengawasi dan mengendalikan segenap
usaha yang dilakukan bersama oleh pengikutnya. Ia harus berusaha agar
orgaisasinya bersifat maju, berkembang dan dinamis yang akan tampat dari
perubahan-perubahan yang terjadi ke arah yang lebih baik. itulah sebabnya
seorang pemimpin memiliki fungsi dan peran sebagai komunikator, motivator, agen
perubahan, pengawas dan juga pendidik (Darwis.2008:18):
a.
Komunikator
Komunikator (communicator) adalah individu atau
kelompok yang mengambil prakarsa atau yang sedang mengadakan komunikasi dengan
individu atau kelompok yang lain yang menjadi sasaran. Antara komunikator dan
penerima pesan komunikasi (komunikan) terdapat suatu hubungan sosial dalam
hubungan inilah proses komunikasi terjadi.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin dapat menjalin
komunikasi dua arah (two ways communication) baik yang bersifat vertikal
maupun horizontal. Komunikasi sangat penting didalam melaksanakan fungsi-fungsi
menajemen, dan seorang pemimpin akan teruji peranannya sebagai komunikator dari
proses kepemimpinan yang dilaksanakannya.
b.
Motivator
Motivator adalah seorang
yang dapat menumbuhkan kekuatan yang ada dalam diri orang lain dan
mendorong/mengarahkan seseorang itu untuk berusaha mencapai sesuatu yang
dibutuhkannya. Motivasi
perlu ditumbuhkan pada diri seseorang atau kelompok agar terjadi perubahan
kearah yang positif dan tercapainya kepuasan tertentu.
Seorang pemimpin harus
menjadi seorang motivator karena ia dikelilingi oleh pengikut (anggota,
bawahan) didalam organisasi yang dipimpinnya. Visi dan misi organisasi tersebut
mustahil dapat dicapai oleh pemimpin seorang diri, dan itulah sebabnya ia harus
menjadi orang yang dapat menyadarkan akan pentingnya kekuatan bersama di dalam
organisasi karena hanya dengan kekuatan bersama apa yang menjadi tujuan
organisasi dapat dicapai.
c.
Agen Perubahan
Agen perubahan (change agent) adalah seorang yang dapat
menjadi perantara terhadap terjadinya perubahan sesuai dengan perkembangan yang
dialamioleh organisasi beserta para anggotanya. Seorang pemimpin adalah seorang
yang harus peduli terhadap adanya perubahan. Jhon Ketter (dalam Covey, 2005)
menyebutkan bahwa kepemimpinan berurusan dengan upaya untuk menghadapai
perubahan. Ia berhadapan dengan berbagai hal yang selalu berubah. Ia harus
antisipatif kalau ia tidak responsif terhadapa perubahan, ia akan menjadi
sasaran mungkin korban perubahan. Sikap aktifnya terhadapa perubahan akan
mendorong dirinya mau berubah dan bila perlu ia akan terlibat dalam proses
perubahan
d.
Pengawas
Didalam tata organisasi, pimpinan organisasi harus
memperhatikan berbagai kemungkinan, baik yang bersifat mendukung maupun
hambatan atau tantangan. Dalam tata kerja diatur tentang kewajiban menerapkan
prinsip kordinasi, integrasi dan sinkronisasi, baik di lingkungan organisasi
maupun unit-unit yang ada didalamnya. Dengan tata kerja yang ada akan terbentuk
hubungan kerja, yaitu hubungan antara pimpinan dengan staf atau bawahan.
e.
Pendidik
Pemimpin yang memimpin lembaga pendidikan tingkat dasar
dan menengah disebut kepala sekolah. Kepala sekolah adalah pendidik, apalagi
seorang kepala sekolah biasanya diangkat dari seorang guru (pendidik) senior
yang telah memiliki pengalaman dalam dunia pendidikan yang cukup luas.
4. Orang Tua
Definisi
orang tua banyak dikemukakan oleh beberapa penulis. Orang tua bisa berarti
orang tua lengkap atau single parent. menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam bukunya Syaiful Bahri Djamarah (2014:51) mengatakan bahwa orang
tua artinya ayah dan ibu, (orang tua) orang yang dianggap tua (cerdik pandai,
ahli, dan sebagainya); orang-orang yang dihormati (disegani) dikampung. Dalam
kontek keluarga, tentu saja orang tua yang dimaksud adalah ayah atau ibu kandung dengan tugas dan
tanggung jawab mendidik anak dalam keluarga.
menurut
miami dalam Kartini Kartono (1982) bahwa orang tua adalah pria dan wanita yang
terikat dalam perkawinan dan siap sedia untuk memikul tanggung jawab sebagai
ayah dan ibu dari anak-anak yang dilahirannya. Menurut Gunarso (2004) mengatakan
bahwa orang tua adalah dua individu yang berbeda memasuki hidup bersama dengan
membawa pandangan, pendapat dan kebiasaan sehari-hari.
Orang
tua sebagai pemimpin harus memberikan dasar dalam pembentukan watak dan moral
terhadap yang dipimpinnya khususnya keluarga, artinya baik buruknya keluarga
tergantung yang memimpinnya. Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.
كلكم ر ا ع و كلكم مسؤ ل عن ر ا
عيثة (ر و ا ه ا لبخا ري )
“setiap kamu
adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya” (H.R.Bukhari)
Kesimpulan
dari penjelasan tersebut bahwa orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri
dari ayah dan ibu, dan merupakan dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang
dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik,
mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang
menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan masyarakat.
Orang
tua sebagai pemimpin adalah faktor penentu dalam menciptakan keakraban dalam
keluarga. Tipe kepemimpinan yang diberlakukan dalam keluarga akan memberikan
suasana tertentu dengan segala dinamikanya. Interaksi yang berlangsung pun
bermacam-macam bentuknya. Oleh karena itu, hampir tak terbantah, bahwa
karakteristik seorang pemimpin akan menentukan pola komunikasi yang berlangsung
dalam kehidupan keluarga. Kehidupan keluarga yang dipimpin oleh pemimpin
otoriter akan melahirkan suasana kehidupan keluarga yang berbeda dengan
kehidupan keluarga yang dipimpin oleh seorang pemimpin demokratis (laissez
faire). Perbedaan itu disebabkan adanya perbedaan karakteristik yang dimiliki
oleh kedua tipe kepemimpinan diatas (Syaiful Bahri. 2014:5)
Berdasarkan
suatu pengamatan tidak semua orang tua dalam membimbing anaknya mempunyai suatu
pandangan yang sama, tergantung pada bentuk-bentuk gaya kepemimpinan yang
diterapkan oleh orang tua dalam keluarga itu sendiri. Secara umum bentuk gaya
kepemimpinan orang tua dalam keluarga ada tiga macam yaitu; demokratis,
otoriter dan liberal. Sesuai yang dikemukakan oleh Salman dalam buku menuju keluarga
sakinah (2000:80-81) bahwa ciri khas/kecenderungan dari masing-masing bentuk
kepemimpinan tersebut adalah sebagai berikut :
a.
Kepemimpinan
yang demokratis, orang tua menunjukkan perhatian dan kasih sayang, berperan
serta dalam kegiatan anak, percaya pada anak, tidak terlalu banyak mengharap
dari anak serta memberi dorongan dan nasehat kebijaksanaan pada anak
b.
Kepemimpinanyang
otoriter, dimana orang tua (keluarga) menuntut kepatuhan mutlak anak,
pengawasan ketat terhadapa anak dalam segala kegiatannya, memperhatikan hal-hal
yang sepele dan banyak mengeritik anak.
c.
Kepemimpinan
yang liberal, orang tua tidak dapat mengendalikan anakanya, disiplin lemah dan
tidak konsisten, anak dibiarkan mengikuti aturan-aturan dirumah serta anak
dibiarkan anak mendominir orang tua (Salam, 2000:80-81)
Jadi dapat disimpulkan bahwa
gaya kepemimpinan orang tua adalah cara yang dipilih dan digunakan dalam
mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku anak dalam keluarga.
5.
Fungsi Orang tua
Fungsi ini menyatakan
bagaimana orang tua harus memenuhi tanggung jawab sebagai pemimpin. Ahmad
tafsir dalam helmawati (2014:44) mengatakan. Bahwa:
Orang tua harus menjalankan fungsi sebagai pendidik dalam kelurga
dengan baik, khususnya ayah sebagai pimpinan dalam keluarga. Fungsi pendidik
dalam keluarga, diantaranya : 1) fungsi biologis, 2) fungsi ekonomi, 3) fungsi
kasih sayang, 4) fungsi pendidikan, 5) fungsi perlindungan, 6) fungsi
sosialisasi anak, 7) fungsi rekreasi, 8) fungsi status keluarga, dan 9) fungsi
agama.
C.
Kerangka berfikir
Kerangka berfikir
adalah model secara konsep tentang bagaimana teori berhubungan dengan
faktor yang diidentifikasi, hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Uma
Sekaran dalam Sugiyono (2013: 60) bahwa: “Kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai factor yang telah diidentifikasi sebagai masalah
yang penting”.
Selanjutnya mengenai kerangka berfikir diungkapkan oleh
Sugiyono (2013: 60) bahwa :“kerangka berfikir yang baik akan menjelaskan secara
teoritis pertautan antara variabel yang akan diteliti. Jadi secara teoritis perlu
dijelaskan hubungan antara varibel independen dan dependen”.
Dalam kerangka pemikiran ini yang menjadi variabel
independen (X) gaya kepemimpinan orang tua, dan variabel dependen (Y) perilaku
remaja.
Diduga terdapat hubungan
antara gaya kepemimpinan orang tua dengan perilaku anak remaja. Hal ini
dikarenakan gaya kepemimpinan orang tua diterapkan mulai anak lahir dan
berlanjut seiring dengan perkembangannya.
|
Perilaku Remaja (Y) :
1. Tindakan positif berupa kebiasaan
sehari-hari
2. Tindakan negatif berupa penyimpangan
perilaku
|
|
Gaya Kepemimpinan Orang Tua (X) :
1. Otoriter
2. Laissez-faire
3. Karismatk
|
|
Asumsi
|
|
berdasarkan
uraian kerangka pemikiran tersebut diduga terdapat hubungan yang positif
antara gaya kepemimpinan orang tua dengan periaku anak usia remaja. Semakin
baik gaya kepemimpinan orang tua, semakin baik perilaku anak remaja.
|
|
Hipotesis
|
Gambar 1.1
D.
Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara sebelum percobaan
dilaksanakan yang didasarkan pada hasil studi literatur. Hal ini sesuai dengan
yang diungkapkan Asep Saepul Hamdi dan E.Bahruddin (2014: 37) bahwa Hipotesis
merupakan jawaban sementara sebelum melakukan penelitian, dikatakan sementara
karena jawaban yang diberikan baru berdasarkan teori yang relevan dan logika
berfikir sebelum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui
pengumpulan data dan analisis data.
Hipotesis
statistika dibedakan menjadi dua yaitu hipotesis nol (Ho) dan hipotesis
tandingan (H1). Pernyataan yang ditolak kebenarannya ditetapkan
sebagai hipotesis nol sedangkan pernyataan lawannya ditetapkan sebagai
hipotesis tandingan.
Hipotesis yang akan diujikan dalam penelitian
ini adalah:
H0 : Tidak terdapat Hubungan antara Gaya Kepemimpinan Orang
Tua dengan Perilaku Anak Remaja di Gang Tanu RT/RW 01/03 Kelurahan Tanah Sareal
Kota Bogor.
H1: Terdapat Hubungan antara Gaya Kepemimpinan Orang
Tua dengan Perilaku Anak Remaja di Gang Tanu RT/RW 01/03 Kelurahan Tanah Sareal
Kota Bogor.
|
Y
|
|
X
|
|
H1
|
|
H0
|
Gambar
1.2
Dari desain diatas dapat
disimpulkan bahwa :
1.
Variabel
X adalah hasil pengolahan data variabel gaya kepemimpinan orang tua
2.
Variabel
Y adalah hasil pengolahan data variabel perilaku remaja
H0 pernyataan yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara variabel X
dan Y
H1 pernyataan yang menunjukkan terdapat hubungan antara variabel X dan Y
Tidak ada komentar:
Posting Komentar